Selasa, 29 April 2014

visi misi hidup fahri m koly

Tugas individu

VISI DAN MISI HIDUP
Di susun
Oleh
Fahri M. Koly
AKK VI
501110006



FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS GORONTALO
T.A 2014

Di dalam hidup seseorang pasti memiliki tujuan hidup dan capaiannya, dan itu yang di sebut dengan visi dan misi, nama saya Fahri m koly, kelahiran tahun 22 desember 1992,  di desa bulalo kecamatan kwandang kabupaten gorontalo utara, saya anak pertama dari 2 bersaudara yang di lahirkan oleh Sumardi  koly dan herlina angio. Ayah saya adalah petani dan ibu saya adalah ibu rumah tangga ,beberapa penggalan kalimat tadi adalah biography singkat dari saya.
Adapaun visi dan misi saya yakni :
1 visi
-          Menjadi  orang yang taat kepada tuhan YME, sesuai pancasila kita
-          Mentaati orang tua dan membahagiakan mereka
-          Menjadi orang orang yang berintelek atau memiliki wawasan luas
-          Menjadi pejuang untuk kaum kaum tertindas
-          Memberikan kontribusi yang baik untuk orang orang orang di sekitar  kita
-          Memiliki kehidupan sosial yang baik agar dapat membahagiakan orang tua
-          Menjadi pemimpin yang arif dan bijaksana
-          Menjadi dosen pengajar  di  FKM universitas gorontalo
Visi saya untuk menjadi orang yang taat kepada Tuhan YME, adalah salah satu bentuk ketaatan saya kebapada tuhan YME, yakni  bagaimana hubungan kita dengan orang lain dan hubungan kita dengan Tuhan YME, visi saya yang kedua ykni mentaati orang tua, karena kesuksesan anak itu tidak lari jauh dari ridho kedua orang, ketika orang tua kit ridho dengan apa yang kita lakukan maka yakin dan percaya sesuatu yang kita kerjakan pasti akan berjalan dengan baik baik saja, karena orang tua kita adalah perwakilan Tuhan YME, di dunia ini. Pada visi keempat saya adalah menjadi orang yang intelek dan berwawasan luas, ini adalah salah satu yang saya mimpi mimpikan ketika saya menjadi salah satu pemikir yang ada di indonesia, dan ikut bergabung dengan cendikiawan  cendikiawan muslim yang ada di indonesia.  Visi saya selanjutnya yakni  memiliki kehidupan sosial yang baik danmemberikan kontribusi yang baik untuk orang lain, saya berasal dari keluarga yang berkecukupan dan saya hidup di tengah tengah orang orang yang serba berkecukupan, ini menjadi acuan hidup saya, inya adalah syaalah saya sukses dan bisa membahagiakan orang tua, saya akan membantu semampu saya kepada orang orang yg membutuhkan uluran tangan. Dan yang berikut menjadi pemimpin yang arif dan bijaksana, setelah saya kuliah nanti pasti saya akan berkeluarga, maka dengan itu saya harus menjadi pemimpin yang arif dan bijaksana untuk keluarga saya , supaya keharmonisan di dalam keluarga saya bisa terjaga dengan baik, dan yang terakhir dari visi saya adalah menjadi dosen pengajar di universitas gorontalo , insyaalah setelah saya selesai s1 di UG saya akan melanjutkan ke gelar magister yakni di universitas hassanudin makassar(unhas), ada beberapa hal yang mendorong menjadi dosen yakni supaya pengetahuan saya bisa saya asah terus dan bisa saya amalkan kepada orang orang yang ada disekitar kita, dosen  tetap Laki laki di FKM UG itu hanya satu orang,  jadi dengan hadirnya hanya satu orang laki laki saja tidak cukup mengendalikan dan menetralkan  badai timur yang ada di dalam FKM UG, semoga bapak mengerti apa yang saya maksud
2. misi
     Untuk mencapai visi saya yang di atas maka saya akan belajar dengan sebaik baiknya, dan secepat cepatnya akan menyelesaikan study saya di unuiversitas gorontalo , dan melajutkan study saya di UNHAS, insyaalah saya akan mengambil Magister AKK. Dan setelahnya saya melamar menjadi dosen di UG, dan Insyaalah terterima saya akan membikan kepada mahasiswa apa yang saya dapat di di bangku perkuliahan, supaya bisa mendorong SDM yang ada di FKM-UG dan yang paling terakir saya akan belajar dengan sebaik baiknya supaya bisa  menjadi tokoh pemikir dan bisa mengangkat derajat sosial keluarga saya yang berada di level cukup.

YAKIN USAHA SAMPAI 

Jumat, 18 April 2014

fahri

ebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.

Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,

dan kematian adalah sesuatu yang pasti,

dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat,

adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja,

lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati,

hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang

berganti kemarau gersang.

Pada air mata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,

pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,

aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.

Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,

tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.

mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan,

sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.

Selamat jalan,

Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,

kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.

selamat jalan sayang,

cahaya mataku, penyejuk jiwaku,

selamat jalan,

sepenggal cerita jendral sudirman

Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia memang takkan pernah dilupakan rakyat. Akan tetapi, tak banyak sosok pejuang yang bisa diingat rakyat. Djuwari (82 tahun), barangkali satu dari sekian banyak pejuang yang terlupakan. Kakek yang pernah memanggul tandu Panglima Besar Jenderal Soedirman itu, kini masih berkubang dalam kemiskinan.

Tepat pada peringatan proklamasi 17 Agustus, Malang Post berusaha menelusuri jejak pemanggul tandu sang Panglima Besar. Djuwari berdomisili di Dusun Goliman Desa Parang Kecamatan Banyakan Kabupaten Kediri, kaki Gunung Wilis. Kampungnya merupakan titik start rute gerilya Panglima Besar Sudirman Kediri-Nganjuk sepanjang sekitar 35 km.

Dari Malang, dusun Goliman bisa ditempuh dalam waktu sekitar empat jam perjalanan darat. Kabupaten Kediri lebih dekat di tempuh lewat Kota Batu, melewati Kota Pare Kediri hingga menyusur Tugu Simpang Gumul ikon Kabupaten Kediri. Terus melaju ke jurusan barat, jalur ke Dusun Goliman tak terlalu sulit ditemukan.

Sejam melewati jalur mendaki di pegunungan Wilis, Malang Post pun tiba di pedusunan yang tengah diterpa kemarau. Rute Gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman memang sangat jauh dari keramaian kota. Titik start gerilya berada di kampung yang dikepung bukit-bukit tinggi dan tebing andesit.

"Inggih leres, kulo Djuwari, ingkang nate manggul Jenderal Soedirman, sampeyan saking pundi?"(iya benar, saya Djuwari, yang manggul Jenderal Soedirman, anda dari mana?) kata seorang kakek yang tengah duduk sambil memegang tongkat di sudut rumah warga Dusun Goliman.

Melihat sosok Djuwari tak nampak kegagahan pemuda berumur 21 tahun yang 61 tahun lalu memanggul Panglima Besar. Namun dipandang lebih dekat, baru tampak sisa-sisa kepahlawanan pemuda Djuwari. Sorot mata kakek 13 cucu itu masih menyala, menunjukkan semangat perjuangan periode awal kemerdekaan.

Sang pemanggul tandu Panglima Besar itu mengenakan baju putih teramat lusuh yang tidak dikancingkan. Sehingga angin pegunungan serta mata manusia bebas memandang perut keriputnya yang memang kurus. Sedangkan celana pendek yang dipakai juga tak kalah lusuh dibanding baju atasan.

Rumah-rumah di Dusun Goliman termasuk area kediaman Djuwari tak begitu jauh dari kehidupan miskin. Beberapa rumah masih berdinding anyaman bambu, jika ada yang bertembok pastilah belum dipermak semen. Sama halnya dengan kediaman Djuwari yang amat sederhana dan belum dilengkapi lantai.

"Sing penting wes tau manggul Jenderal, Pak Dirman. Aku manggul teko Goliman menyang Bajulan, iku mlebu Nganjuk,"(yang penting sudah pernah manggul jenderal, pak Dirman, saya manggul dari goliman sampai bajulan, itu masuk nganjuk) ujar suami almarhum Saminah itu ketika ditanya balas jasa perjuangannya.

Dia bercerita, memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada sang Jenderal) adalah kebanggaan luar biasa. Kakek yang memiliki tiga cicit itu mengaku memanggul tandu jenderal merupakan pengabdian. Semua itu dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apapun.

Sepanjang hidupnya menjadi eks pemanggul tandu Soedirman, keluarga Djuwari beberapa kali didatangi cucu Panglima Besar. Pernah suatu kali diberi uang Rp 500 ribu, setelah itu belum ada yang datang membantu. Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah pada zaman Soeharto, sesekali dia digelontor bantuan beras.

"Biyen manggule tandu yo gantian le, kiro-kiro onok wong pitu, sing melu manggul teko Goliman yaiku Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo (kakak kandung lain ibu) karo Djoyo dari (warga Goliman),"(dulu manggulnya ya gantian, kira2 ada 7 orang, yang ikut manggul dari goliman itu Warso dauri, martoredjo, sama Djoyo) akunya.

Perjalanan mengantar gerilya Jenderal Soedirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi, dengan dikawal banyak pria berseragam. Rute yang ditempuh teramat berat karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat. Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan perbekalan yang dibawa.



"Teko Bajulan (Nganjuk), aku karo sing podho mikul terus mbalik nang Goliman. Wektu iku diparingi sewek (jarit) karo sarung," (sampai bajulan (Nganjuk), aku sama yg ikut mikul pulang ke Goliman, pas itu di kasih kain sama sarung) imbuhnya.


Ayah dari empat putra dan empat putri itu menambahkan, waktu itu, istrinya (sudah dipanggil Tuhan setahun lalu) amat senang menerima sewek pemberian sang Jenderal. Saking seringnya dipakai, sewek itupun akhirnya rusak, sehingga kini Djuwari hanya tinggal mewariskan cerita kisahnya mengikuti gerilya.
"Pak Dirman pesen, urip kuwi kudu seng rukun, karo tonggo teparo, sak desa kudu rukun kabeh," (Pak Dirman pesen, hidup itu yang rukun, sama tetangga harus berbagi, se desa harus rukun semua) katanya.
.

Dari empat warga Dusun Goliman yang pernah memanggul tandu Panglima Besar, hanya Djuwari seorang yang masih hidup. Putra Kastawi dan Kainem itu masih memiliki kisah dan semangat masa-masa perang kemerdekaan. Ketika ditanya soal periode kepemimpinan Presiden Soekarno hingga SBY, Djuwari dengan tegas mengatakan tidak ada bedanya